Kepalang Merahan
Palang Merah Indonesia (PMI) adalah
sebuah organisasi perhimpunan nasional di Indonesia yang bergerak dalam bidang
sosial kemanusiaan. Yang bertujuan membangun
dan mengembangkan karakter Kepalangmerahan agar siap menjadi Relawan PMI pada
masa depan PMI selalu berpegang teguh pada tujuh
prinsip dasar Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan sabit merah yaitu Kemanusiaan
(humanity), Kesamaan
(impartiality), Kenetralan
(neutrality), Kemandirian
(independence), Kesukarelaan
(voluntary service), Kesatuan
(unity), Kesemestaan
(universality).
Palang Merah Indonesia tidak berpihak
pada golongan politik, ras, suku ataupun agama tertentu. Palang Merah Indonesia
dalam pelaksanaannya juga tidak melakukan pembedaan tetapi mengutamakan objek
korban yang paling membutuhkan pertolongan segera untuk keselamatan jiwanya.
Keanggotaan
dan tingkatan PMR
Di
Indonesia dikenal ada 3 tingkatan PMR sesuai dengan jenjang pendidikan
atau usianya
1.
PMR Mula adalah
PMR dengan tingkatan setara pelajar Sekolah Dasar (10-12 tahun). Warna slayer hijau
muda
2.
PMR Madya adalah
PMR dengan tingkatan setara pelajar Sekolah Menengah
Pertama (12-15 tahun). Warna slayer biru langit
3.
PMR Wira adalah
PMR dengan tingkatan setara pelajar Sekolah Menengah
Atas (15-17 tahun). Warna slayer kuning cerah
Sejarah PMR Jean Henri Dunant
Jean Henri Dunant (8 Mei 1828 – 30
Oktober 1910), yang juga dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah pengusaha dan
aktivis sosial Swiss. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada
tahun 1859, dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah
lokasi yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan pengalamannya itu
dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul A Memory of Solferino (Kenangan
Solferino), yang menginspirasi pembentukan Komite Internasional Palang Merah
(ICRC) pada tahun 1863.Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan
Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang
pertama, bersama dengan Frédéric Passy. Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra
pertama dari pengusaha Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette
Dunant-Colladon. Keluarganya adalah penganut mashab Kalvin (''Calvinist'') yang
taat serta mempunyai pengaruh yang signifikan di kalangan masyarakat Jenewa.
Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai kegiatan sosial. Ayahnya aktif
membantu anak yatim-piatu dan narapidana yang menjalani bebas bersyarat,
sedangkan ibunya melakukan kegiatan sosial membantu orang sakit dan kaum
miskin. Dunant tumbuh pada masa kebangkitan kesadaran beragama yang dikenal
dengan nama Réveil. Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan Perhimpunan Amal
Jenewa (''Geneva Society for Alms Giving''). Pada tahun berikutnya, bersama
teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang disebut ”Thursday Association”,
sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan keanggotaan resmi yang melakukan
pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan menolong kaum miskin. Waktu
senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi penjara dan melakukan
kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant mendirikan cabang YMCA
di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia berpartisipasi dalam pertemuan Paris yang
bertujuan membentuk YMCA menjadi sebuah organisasi internasional. Pada tahun
1849, ketika berusia 21, Dunant terpaksa meninggalkan Kolese Kalvin (Collège
Calvin) karena prestasi akademisnya buruk. Dia kemudian menjadi pekerja magang
di perusahaan penukaran uang bernama Lullin et Sautter. Setelah masa magangnya
selesai dengan prestasi baik, dia diangkat sebagai karyawan bank tersebut.
Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan menulis sebuah
buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia beri judul Un Souvenir de
Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini diterbitkan pada tahun 1862 dengan
jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak atas biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini,
Dunant melukiskan pertempuran yang terjadi, berbagai ongkos pertempuran
tersebut, dan keadaan kacau-balau yang ditimbulkannya. Dia juga mengemukakan
gagasan tentang perlunya dibentuk sebuah organisasi netral untuk memberikan
perawatan kepada prajurit-prajurit yang terluka. Buku ini dia bagikan kepada
banyak tokoh politik dan militer di Eropa. Dunant juga memulai perjalanan ke
seluruh Eropa untuk mempromosikan gagasannya. Buku tersebut mendapat sambutan
yang sangat positif. Presiden Geneva Society for Public Welfare (Perhimpunan
Jenewa untuk Kesejahteraan Umum), yaitu seorang ahli hukum bernama Gustave
Moynier, mengangkat buku ini beserta usulan-usulan Dunant di dalamnya sebagai
topik pertemuan organisasi tersebut pada tanggal 9 Februari 1863. Para anggota
organisasi tersebut mengkaji usulan-usulan Dunant dan memberikan penilaian
positif. Mereka kemudian membentuk sebuah Komite yang terdiri atas lima orang
untuk menjajaki lebih lanjut kemungkinan mewujudkan ide-ide Dunant tersebut,
dan Dunant diangkat sebagai salah satu anggota Komite ini. Keempat anggota lain
dalam Komite ini ialah Gustave Moynier, jenderal angkatan bersenjata Swiss
bernama Henri Dufour, dan dua orang dokter yang masing-masing bernama Louis
Appia dan Théodore Maunoir. Komite ini mengadakan pertemuan yang pertama kali
pada tanggal 17 Februari 1863, yang sekarang dianggap sebagai tanggal
berdirinya Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Dari awal, Moynier dan
Dunant saling berbeda pendapat dan bertikai menyangkut visi dan rencana mereka
masing-masing, dan ketidaksepahaman mereka itu semakin lama semakin besar.
Moynier menganggap ide Dunant tentang perlunya ditetapkan perlindungan
kenetralan bagi para pemberi perawatan sebagai gagasan yang sulit diterima akal
serta menasihati Dunant untuk tidak bersikeras memaksakan konsep tersebut.
Namun, Dunant terus menganjurkan pendiriannya itu dalam setiap perjalanannya
dan dalam setiap pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik dan militer
tingkat tinggi. Ini semakin mempersengit konflik pribadi antara Moynier, yang
memakai pendekatan pragmatis terhadap proyek tersebut, dan Dunant, yang
merupakan idealis visioner di antara kelima anggota Komite itu. Pada akhirnya,
Moynier berusaha menyerang dan menggagalkan Dunant ketika Dunant mencalonkan
diri untuk posisi ketua Komite. Pada bulan Oktober 1863, 14 negara
berpartisipasi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh Komite tersebut di
Jenewa untuk membahas masalah perbaikan perawatan bagi prajurit terluka. Namun,
Dunant sendiri hanya menjadi ketua protokoler dalam pertemuan tersebut sebagai
akibat dari usaha Moynier untuk memperkecil perannya. Setahun kemudian, pada
tanggal 22 Agustus 1864, sebuah konferensi diplomatik yang diselenggarakan oleh
Parlemen Swiss membuahkan hasil berupa ditandatanganinya Konvensi Jenewa Pertama
oleh 12 negara. Untuk konferensi ini pun, Dunant hanya bertugas sebagai
pengatur akomodasi bagi peserta. Pada tahun 1901, Dunant menerima Hadiah Nobel
Perdamaian pertama yang pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam
mendirikan Gerakan Palang Merah Internasional dan mengawali proses terbentuknya
Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans Daae, yang pernah menerima satu
eksemplar buku tulisan Müller itu, mengadvokasikan kasus Dunant kepada Panitia
Nobel. Hadiah tersebut adalah hadiah bersama yang diberikan kepada Dunant dan
Frédéric Passy, seorang aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga
Perdamaian dan yang aktif bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan
Peradaban (Alliance for Order and Civilization). Ucapan selamat resmi yang akhirnya
diterima Dunant dari Komite Internasional Palang Merah merepresentasikan
rehabilitasi nama Dunant: “Tak ada yang lebih layak untuk menerima kehormatan
ini, karena Andalah yang empat puluh tahun yang lalu mendirikan organisasi
internasional bantuan kemanusiaan bagi korban luka di medan tempur. Tanpa Anda,
Palang Merah, yang merupakan prestasi kemanusiaan yang agung abad kesembilan
belas, barangkali tak akan pernah diusahakan.” Moynier dan Komite Internasional
Palang Merah secara keseluruhan juga dinominasikan untuk Hadiah Nobel
Perdamaian tersebut. Meskipun Dunant memperoleh dukungan dari kalangan luas
dalam proses seleksi, dia tetap merupakan calon yang kontroversial. Sejumlah
pihak berargumen bahwa Palang Merah dan Konvensi Jenewa justru membuat perang
menjadi lebih menarik dan menggoda dengan meringankan sebagian dari penderitaan
yang ditimbulkan perang. Oleh karena itu, Müller dalam suratnya kepada Panitia
Nobel menyampaikan pendapat bahwa hadiah tersebut perlu dibagi antara Dunant
dan Passy, yang sempat menjadi calon utama untuk menjadi satu-satunya penerima
hadiah tersebut dalam perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya proses
seleksi. Müller juga menyarankan bahwa sekiranya Dunant dianggap layak untuk
menerima Hadiah Nobel, hadiah tersebut perlu segera diberikan kepadanya
mengingat usianya yang telah lanjut dan kondisi kesehatannya yang sudah
memburuk. Keputusan Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut antara Passy,
seorang tokoh perdamaian, dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan, menjadi preseden
bagi persyaratan mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang
berdampak signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu bagian dalam surat
wasiat Nobel menyebutkan bahwa hadiah untuk perdamaian diberikan kepada orang
yang berupaya mengurangi atau menghapuskan pasukan tetap (standing armies) atau
berupaya untuk scara langsung mempromosikan konferensi perdamaian. Inilah yang
membuat Passy secara alamiah terpilih menjadi calon penerima hadiah tersebut
berkat usaha-usahanya di bidang perdamaian. Pemberian Hadiah Nobel untuk
usaha-usaha di bidang kemanusiaan saja akan menjadi hal yang sangat mencolok,
dan hal tersebut dianggap oleh sejumlah pihak sebagai penafsiran yang terlalu
luas atas surat wasiat Nobel. Akan tetapi, satu bagian lain dalam surat wasiat
Nobel menetapkan hadiah bagi orang yang berprestasi terbaik dalam meningkatkan
“persaudaraan antarmanusia” (the brotherhood of people). Ini secara lebih umum
bisa ditafsirkan sebagai pesan bahwa usaha-usaha kemanusiaan seperti yang
dilakukan oleh Dunant itu juga terkait dengan usaha-usaha perdamaian. Penerima
Hadiah Nobel Perdamaian di tahun-tahun berikutnya yang banyak jumlahnya itu
dimasukkan ke dalam salah satu dari dua kategori yang untuk pertama kalinya
ditetapkan oleh keputusan Panitia Nobel 1901 tersebut. Hans Daae berhasil
menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant, sebesar 104.000 franc Swiss, di
sebuah bank di Norwegia dan mencegah uang tersebut diakses oleh para kreditor
Dunant. Dunant sendiri tak pernah memakai sedikit pun dari uang tersebut dalam
hidupnya. Di antara beberapa penghargaan lain yang diterima oleh Dunant di
tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas Kedokteran
University of Heidelberg, yang diterimanya pada tahun 1903. Dunant tinggal di
panti jompo di Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun terakhir
hidupnya, dia menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia terus
dicari-cari oleh para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant kadang-kadang
mendesak juru masak panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih dulu jatah
makanannya di hadapan dia agar dia terlindung dari kemungkinan diracuni.
Meskipun mengaku tetap berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun terakhir
hidupnya menolak dan menyerang Kalvinisme dan agama terorganisasi (organized
religion) pada umumnya. Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir yang
dilakukan Dunant dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku tulisan
Müller kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant
meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya ialah
“Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan setelah musuh
bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan selamat kepada Dunant
atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua rival ini tak pernah
berrekonsiliasi. Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di
Kompleks Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia mendonasikan
sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti jompo di Heiden
tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan itu. Dia juga
memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada teman-temannya dan
kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss. Sisa uangnya dia berikan kepada
para kreditornya sehingga sebagian utangnya lunas. Ketidakmampuan Dunant untuk
sepenuhnya melunasi utang-utangnya menjadi beban besar baginya hingga hari
kematiannya. Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Sedunia (''World Red Cross and Red Crescent Day''). Panti
jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi Museum Henry
Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali jalan, lapangan, dan
sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry Dunant, yang dianugerahkan
setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan Palang Merah dan Palang Merah
Internasional, merupakan penghargaan tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Kisah hidup Dunant diceritakan, dengan sejumlah unsur fiksi, dalam film D'homme
à hommes (1948) yang dibintangi oleh Jean-Louis Barrault. Masa hidup Dunant
ketika Palang Merah didirikan ditampilkan dalam film produksi bersama
internasional yang berjudul Henry Dunant: Red on the Cross (2006). Pada tahun
2010, Takarazuka Revue menggelar drama musikal berdasarkan pengalaman Dunant di
Solferino dan proses pendirian Palang Merah. Drama musikal ini berjudul ソルフェリーノの夜明け (Fajar di Solferino, atau Kemana Lenyapnya Kemanusiaan?).
Sumber : http://andiaspranata.blogspot.co.id/
Lagu yang pertama kali dikumandangkan tahun 1967 ini adalah
ciptaan Mochtar H. S. yang adalah seorang tokoh PMI yang terkemuka waktu itu.
Lagu ini juga menandai pembentukan Palang Merah Remaja (PMR) Kudus. PMR Kudus
merupakan yang kedua di Indonesia setelah Bandung. Bisa dibayangkan, PMI Kudus
pada masa itu adalah cabang terkemuka di Indonesia.
Mars Palang Merah Remaja
Mars Palang Merah Remaja
Mars Bhakti PMR (Palang Merah Remaja)
Palang
Merah Remaja Indonesia warga Palang Merah sedunia
Berjuang berbakti penuh kasih sayang untuk rakyat semua
Bekerja dengan rela tulus ikhlas untuk yang tertimpa sengsara
Puji dan puja tidak dikejar… mengabdi tuk sesama…
Berjuang berbakti penuh kasih sayang untuk rakyat semua
Bekerja dengan rela tulus ikhlas untuk yang tertimpa sengsara
Puji dan puja tidak dikejar… mengabdi tuk sesama…
Putra Putri
Palang Merah Remaja Indonesia
Abdi rakyat sedunia luhur budinya
Putra Putri Palang Merah Remaja Indonesia
Abdi rakyat sedunia mulya citanya
Abdi rakyat sedunia luhur budinya
Putra Putri Palang Merah Remaja Indonesia
Abdi rakyat sedunia mulya citanya
Hymne
PMI
Palang merah Indonesia
Wujud kepedulian nyata
Nurani yang suci
Untuk membantu menolong sesama
PMI
Siaga setiap waktu
Berbakti, dan mengabdi
Bagi hidup manusia
Agar sehat sejahtera di seluruh dunia
Mars Palang Merah Indonesia
Mars PMI
Palang Merah Indonesia
Sumber kasih umat manusia
Warisan luhur, nusa dan bangsa
Wujud nyata pengayom Pancasila
Gerak juangnya keseluruh nusa
Mendarmakan bhakti bagi ampera
Tunaikan tugas suci tujuan PMI
Di Persada Bunda Pertiwi
Untuk umat manusia
Di seluruh dunia
PMI menghantarkan jasa
Palang merah Indonesia
Wujud kepedulian nyata
Nurani yang suci
Untuk membantu menolong sesama
PMI
Siaga setiap waktu
Berbakti, dan mengabdi
Bagi hidup manusia
Agar sehat sejahtera di seluruh dunia
Mars Palang Merah Indonesia
Mars PMI
Palang Merah Indonesia
Sumber kasih umat manusia
Warisan luhur, nusa dan bangsa
Wujud nyata pengayom Pancasila
Gerak juangnya keseluruh nusa
Mendarmakan bhakti bagi ampera
Tunaikan tugas suci tujuan PMI
Di Persada Bunda Pertiwi
Untuk umat manusia
Di seluruh dunia
PMI menghantarkan jasa
Komentar
Posting Komentar